"setitik harapan"
“Lewu tatau babaras bulau habusung hintan hakarangan lamiang.
Lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalasu uhate”.
Ungkapan diatas adalah gambaran negeri ini-Indonesia-yang dibuat oleh tokoh utama buku Rahasia Mee De, Kalek. Novel bergendre sejarah yang menceritakan kecintaan luar biasa Kalek dan sekelompok komunitas pemuda yang ia pimpin, anarki nusantara, terhadap tanah airnya. Secara gamblang Kalek berkata:
“Aku melihat mereka. Orang-orang itu, para pendahulu kita. Mereka menggali dan terus mencari setelah kawat dikrimkan dari Amsterdam. Aku mencium wangi keringat menyambut kedaulatan. Aku tahu mereka ikhlas bekerja untuk republik. Untuk masa depan yang mungkin tidak akan pernah mereka alami. Kau tahu aku sangat mencintai republik ini. Saking cintanya, aku tidak bisa melihat ia hina, nista dan tampak kumal diantara peradaban lain. Aku tidak bisa hidup dalam kondisi republik seperti saat ini. Lebih baik tenggelam sekalian daripada hina seperti ini. Kau dengar, aku tidak bisa menerima republik ini dihinakan oleh penghuninya sendiri. Tidak bisa!”
Cinta Kalek terhadap tanah air adalah cinta yang lahir dari misi yang suci, didorong oleh emosi kebajikan dan didukung dengan kemampuan memberi. Cinta yang disebut Anismatta sebagai cinta misi.
Cerita-cerita tentang cinta misi yang digambarkan secara apik melalui sastra yang berbentuk novel, roman ataupun syair lainnya, selalu memberi imbas besar tehadap perubahan karakter orang-orang yang membacanya. Dan perannya akan semakin bertambah besar jika para pembacanya adalah para pemuda bahkan jika penulisnya adalah pemuda itu sendiri.
Saat ini, sastra bergendre seperti hal tersebut diatas telah menjadi alternatif bacaan ditanah air. Selain E.S. Ito dengan Rahasia Mee Denya, Afifah Afra dan Sinta Yudisia juga menulis novel yang bergendre sama. De Winst karya Afifah Afra A yang bercerita tentang Indonesia di tahun 1930an (masa kolonial Belanda). Sekar Prembayun adalah karakter tokoh yang saya sukai. Ia adalah simbol wanita keraton yang berbuat “nekad” karena menentang besar-besaran keinginan orang tuanya yang telah menjodohkan ia dengan seseorang yang karakter awalnya tidak ia sukai. Tidak hanya menolak keinginan orang tuanya, Sekar juga menjadi tokoh yang dapat memobilisasi pemuda untuk bergerak melawan penjajah dengan sosok penyamarannya sebagai seorang laki-laki, Kresna. Sekar adalah simbol perempuan pemimpin yang sangat diinginkan dimasa saat ini. Masa ketika kebanyakan para pemudinya berlomba-lomba menjadi artis!
Novel trilogi sejarah karya Sinta Yudisia juga tak kalah menariknya. Walau, bangsa Mongol yang menjadi subjek ceritanya. Dari buku pertamanya, Sebuah Janji, lalu The Lost Prince dan yang terakhir The Road To The Empire mengambarkan secara gamblang tentang sejarah bangsa mongol di masa setelah kematian Jengish Khan. Cerita sejarah bagaimana para cucu Jengish Khan akhirnya berebut kekuasan, bagaimana akhirnya Takudar (tokoh utamanya) mampu berperang dengan dirinya sendiri serta orang-orang yang ia cintai demi cinta yang lebih tinggi, lebih suci, cinta misi! Sekaligus trilogy novel ini memberi pengetahuan baru tentang karakter rakyat dan pemimpin bangsa mongol, budaya serta kepercayaan mereka kepada saya, pembacanya.
Ketiga penulis novel-novel diatas adalah orang-orang dengan usia yang masih bisa digolongkan muda. E.S. Ito, lahir tahun 1981 artinya usianya saat ini masih 28 tahun. Afifah Afra A dan Sinta Yudisia, masing-masing masih berusia 30an. Mereka mampu menjadi penulis-penulis yang mencerahkan. Karakter mereka pastilah tidak jauh dengan karakter tokoh-tokoh utama yang mereka buat. Karakter-karakter pemimpin, karena saya yakin hati hanya dapat “disentuh” oleh hati. Tidak mungkin orang yang berkarakter buruk bisa menulis sebaik itu kecuali karena kebaikan-kebaikan tersebut memang telah dekat dengan mereka.
Karakter tokoh-tokoh fiktif yang dibuat oleh para penulis tersebut (Kalek, Sekar, maupun Takudar) adalah karakter-karakter pemimpin. Dan secara logis menurut saya, penulisnya juga adalah orang-orang yang berkarakter pemimpin. Pemimpin yang saya maksud adalah pemimpin dalam ranah paling kecil yaitu memimpin dirinya sendiri sampai ranah paling besar yaitu pemimpin rakyat. Artinya mereka, minimal adalah orang-orang yang bisa memimpin diri mereka sendiri untuk produktif dan menyebarkan kebaikan disekitarnya. Karena sastra adalah salah satu media yang memang mampu membentuk karakter yang seperti itu.
Saya yakin, jika para pemuda sering diajarkan sastra atau bahkan kesenangan menikmati sastra lahir dari dirinya sendiri, terutama sastra yang bertema cinta misi maka tidak akan ditemukan lagi pemuda yang menyia-yiakan waktunya untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak bermanfaat. Mereka akan tumbuh menjadi generasi-generasi pemimpin.
Pada awalnya, saya termasuk orang yang tidak terlalu menyukai pelajaran sejarah. Baik ketika saya masih dibangku sekolah sampai ketika saya kuliah. Namun, sebuah perubahan terjadi cukup besar ketika saya membaca novel Rahasia Mee De, De Winst dan novel yang gendre sama lainnya. Saya menjadi sangat menyukai sejarah dan semakin cinta pada tanah air, bahkan semakin yakin dengan landasan cinta yang lebih besar dari itu semua, cinta yang sama seperti Kalek. Keyakinannya bahwa ternyata ia yakin Lewu tatau babaras bulau habusung hintan hakarangan lamiang.Lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalasu uhate (Negeri yang kaya raya, berpasir emas, berbukit intan dan berkerikil manik. Tempat dimana tidak ada kemalangan, kesusahan dan kesedihan), negeri tersebut bukan indonesia. Ini adalah imbas langsung dari menyukai sastra. Sastra bergendre sejarah yang menanamkan nilai-nilai cinta misi.
Salah satu buktinya dikancah Internasional menurut saya adalah ketika seorang pemuda bernama Hasan Al Bana diinterview di Madrasah Darul Ulum, “syair lama apakah yang kamu hapal?” maka jawabnya “saya hapal Mu’allaqat As-Sabi’ (syair tujuh serangkai)”. Dan pada saat ia diminta, bait mana yang paling ia kagumi, lalu Hasan al Bana menyenandungkan syairnya. Apabila kaum itu bertanya siapakah gerangan pemuda itu? Saya merasakan diri sayalah yang dikehendaki. Lalu saya tidak akan duduk bermalas-malasan dan tidak akan bersikap masa bodoh.
Di Kancah lokal, M. Hatta juga seperti itu, ia memiliki syair pavorit yang ia kutip dari Rene de Clerq. Daar is maar één land dat mijn land kan zijn. Het groeit naar de daad is mijn (Hanya satu tanah yang bisa disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku). Dan syair inilah yang ia kutip dalam pleidoi Indonesia Merdeka. Baik Hatta maupun Hasan Al-Banna keduanya adalah pemimpin muda di era mereka masing-masing. Jika pada akhirnya Hatta menjadi wakil presiden pertama Republik Indonesia, yang memiliki pengaruh luas pada Indonesia, maka Hasan Al-Bannapun demikian. Ia menjadi seorang pemimpin yang luar biasa. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang ia pimpin memberi pengaruh luar biasa terhadap peradaban ummat manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus..
Cinta misi kata anismatta, seringkali tidak berbalas bahkan menimbulkan permusuhan. Begitu juga yang akhirnya terjadi pada hasan Al-Banna. Ia dibunuh oleh negaranya sendiri. Ketika darahnya mengucur deras di sebuah rumah sakit, ia tidak diberi pelayanan karena utusan raja, Brigjen Muhammad Washfy sendiri yang meminta pihak rumah sakit untuk membiarkannya, hingga ia pergi.
Cinta misi adalah syarat yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, terlebih lagi jika ia adalah pemimpin sebuah bangsa-selain syarat-syarat standar lainnya, seperti Adil, Berilmu/Berkemampuan, berwawasan dan Sehat-dan cinta ini membutuhkan sebuah bukti. Tersebutlah, umar bin abdul azis. Seorang pemimpin/khilafah pada masa bani ummayah yang rela mengontrol kehidupan rakyatnya langsung dengan melihat mereka dengan kehidupannya. Ia rela memikul gandum dengan tangannya sendiri untuk diberikan kepada sebuah keluarga yang hanya bisa memasak batu dengan air. Pada masa pemerintahannya inilah negerinya mencapai kejayaan. Kesejahteraan bisa dirasakan oleh semua rakyat bahkan serigala dan ayampun bisa hidup bersama.
Umar bin Abdul Azis adalah salah satu contoh pemimpin yang jauh keberadaannya dari negeri kita. Contoh seorang pemimpin yang juga berhasil seperti Umar adalah Safiatuddin Syah, seorang sultanah Aceh yang hidup di abad 16. Ia dalah istri dari Iskandar Tsani sekaligus putri Iskandar Muda. Ia memerintah Aceh selama 32 tahun dan pada masa pemerintahannya aceh mengalami masa kejayaannya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian zakat langsung ke Mekkah karena rakyat Aceh semuanya tidak ada yang berhak menerima zakat, atau dengan kata lain telah sejahtera. Naiknya Safiatuddin menjadi Sultanah bukanlah karena keinginannya melainkan karena keinginan rakyatnya. Sebelumnya juga para ulama banyak yang menentang naiknya ia menjadi sultanah, karena kondisi pada saat itu tidak ada yang dianggap lebih mampu memimpin akhirnya Safiatuddin menjadi Sultanah dan ia membuktikan cintanya melalui kepemimpinannya yang membawa rakyat pada kesejahteraan.
Begitupun dengan Indonesia saat ini. Dapatkah Indonesia kembali melahirkan para pemimpin yang luar biasa? yang dapat mencintai rakyat dengan sempurna? walaupun mencintai adalah pekerjaan yang berat. Sama beratnya dengan memimpin itu sendiri!
Komentar
Posting Komentar