filsafat ilmu
Paradigma Kuhn
1. Pendahuluan
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, karena pada waktu ini terjadi perubahan pola fikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Perubahan pola fikir yang kelihatan sangat sederhana tetapi sebenarnya memiliki implikasi tidak sederhana. Alam yang selama ini ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif menjadi aktif sehingga alam digunakan sebagai objek penelitian atau pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat (Bakhtiar, 2004: 21-22). Sejak zaman ini filsafat terus berkembang, mulai dari masa kejayaan, kemunduran, dan kebangkitannya kembali.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles. Aristoteles yang membagi filsafat pertama kali pada dua hal, yaitu hal yang teoritis dan hal yang praktis. Pembagian ini juga yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu dikemudian hari. Aristoteles dianggap bapak ilmu karena ia mampu meletakan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Namun, setelah Aristoteles menuangkan fikirannya ini, mutu filsafat semakin merosot dan puncak kemundurannya adalah pada ujung zaman Helenisme. Kemunduran filsafat sejalan dengan kemunduran politik pada zaman itu, terpecahnya kerajaan Macedonia setelah wafatnya Alexander The Great (Bakhtiar, 2004: 30-32).
Filsafat mengalami perkembangan kembali pada abad modern, yang diawali terlebih dahulu dengan adanya zaman Renissans, yaitu peralihan abad pertengahan ke abad modern. Zaman ini terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berfikir. Sejak zaman ini kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan pada kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada abad modern khususnya abad ke-17 adalah persoalan epistemology. Pertanyaan pokok dalam bidang ini adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran tersebut adalah aliran rasionalisme dan empirisme (Munir, 1997: 8-10).
Kritisisme adalah aliran yang berusaha untuk menjembatani aliran rasionalisme dan empirisme. Tokoh aliran ini adalah filsuf Jerman yaitu Imanuel Kant. Namun, kehadiran aliran ini bukanlah batas akhir pertentangan pendapat aliran-aliran terdahulu. Justru setelah lahirnya aliran ini muncul lagi aliran-aliran lainnya. Aliran yang mendukung aliran kritisisme sekaligus rasionalisme yaitu aliran idealisme, maupun aliran yang mendukung aliran empirisme sekaligus kritisisme yaitu positivisme (Munir, 1997:15-18).
Pada tahun 1934 Karl Popper mengumumkan karyanya yang berisi sangkalan terhadap positivisme. Ia memaparkan beberapa kelemahan fatal dari filsafat positivisme yang dikhotbahkan oleh salah satu tokoh aliran positivisme yaitu Alfred Jules Ayer (Chalmers, 1983: xi). A. J. Ayer berpendapat bahwa filsafat berdasar pada prinsip verifikasi (Mintaredja, 2003:76). Namun, pada akhirnya diketahui falsifikasionisme Popperpun memiliki keterbatasan.teori-teori tidak dapat konklusif difalsifikasi, karena keterangan observasi yang menjadi dasar untuk falsifikasi itu sendiri mungkin salah dilihat dari perkembangan selanjutnya. Pengetahuan di zaman Copernicus tidak mengizinkan adanya kritik yang sah terhadap observasi yang menyatakan bahwa besarnya planet Mars dan Venus nampak konstan sehingga secara harfiah boleh dikatakan bahwa teori Copernicus itu dianggap telah difalsifikasi oleh keterangan observasi itu sendiri. Seratus tahun kemudian, falsifikasi itu dapat dibatalkan karena perkembangan baru dalam Optik (Chalmers, 1983: 67).
Falsifikasi konklusif gugur karena kekurangan dasar observasi yang terjamin dengan sempurna, padahal falsifikasi itu tergantung dengannya. Dengan hanya memandang hubungan antara teori dengan keterangan observasi, kaum falsifikasionis gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang penting-penting. Penekanan kaum falsifikasionis yang melakukan dugaan dan falsifikasi, tidak mampu mengkarakterisasi dengan memadai asal mula dan pertumbuhan teori-teori yang kompleks secara realitis. Perumusan yang layak seyogyanya adalah memandang teori sebagai suatu struktur yang utuh (Chalmers, 1983: 67-81).
Pandangan tentang teori sebagai struktur yang kompleks adalah pandangan yang pernah dan kini masih mendapat banyak perhatian. Thomas Kuhn adalah filsuf yang memperkenalkannya dalam buku yang ia tulis, The Structure of Scientific revolution tahun 1962 (Kuhn dalam Chalmers, 1983: 93). Segi penting pendekatan yang digunakan Kuhn adalah pada teori Kuhn terdapat peranan penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis masyarakat ilmiah dan pendekatan Kuhn yang menggunakan pandangan filosofis yang tahan menghadapi kritik yang berdasarkan sejarah ilmu. Oleh karena inilah, penulis menganggap penting membahas tentang paradigma Kuhn.
2. Paradigma Kuhn
1. Pengertian Paradigma
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:828) paradigma bisa berarti daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berfikir. Sedangkan menurut Suriasumantri (2007: 103) paradigma adalah konsep dasar yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu termasuk masyarakat ilmuwan. Paradigma ini merupakan bukan ilmu melainkan sarana berfikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika dan bahasa. Suatu paradigma terdiri dari asumsi-asumsi teoritis yang umum dan hukum-hukum serta tehnik-tehnik untuk penerapannya yang diterima oleh anggota suatu masyarakat ilmiah (Chalmers, 1983: 94).
Jadi, menurut penulis paradigma adalah sebuah kerangka berfikir yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang berisi asumsi, hukum ataupun tehnik yang digunakan dalam memandang sesuatu.
2. Thomas S. Kuhn
Kuhn pada awalnya memulai karir akademisnya sebagai ahli fisika dan kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sejarah ilmu. Sejak karya utamanya, The Sructure of Scientific Revolution, Kuhn telah mengemukakan bahwa ia menggunakan istilah “paradigma” dalam pengertian kembar. Di dalam postcriptnya edisi 1970, ia membedakan pengertian umum istilah itu, yang kini ia sebut sebagai disciplinary matrix (pola ilmiah) dan pengertian sempitnya yang telah diganti dengan exemplar-contoh atau teladan. Selain, The Sructure of Scientific Revolution, karya modifikasi Kuhn mengenai idenya yang orisinal tentang paradigma lebih terperinci adalah Second Thoughts of Paradigms yang diterbitkan pada tahun 1973 di Urbana : University of Illinois Fress (Chalmers, 1983:95-105)
3. Pandangan Kuhn Tentang Ilmu
Gambaran Kuhn tentang cara ilmu berkembang dapat diringkaskan dalam suatu skema yang Open-ended, artinya sebuah akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut. Skemanya adalah sebagai berikut :
Pra ilmu - ilmu biasa - krisis - revolusi - ilmu biasa baru - krisis baru
Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada saat suatu paradigma tunggal telah dianut suatu masyarakat ilmiah. Para pekerja pada suatu paradigma mempraktekkan apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu biasa (natural sciene). Para ilmuwan biasa akan menjelaskan dan mengembangkan paradigma dalam usaha untuk mempertanggungjawabkan dan menjabarkan prilaku beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata ini, sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen. Dalam melakukan ini, mereka tidak akan terelakan dari mengalami kesulitan dan menjumpai falsifikasi-falsifikasi. Apabila telah bebas dari kesulitan tersebut, maka berkembanglah keadaan krisis. Krisis teratasi apabila lahir paradigma yang baru sepenuhnya dan menarik makin banyaknya ilmuwan sampai akhirnya paradigma orisinal yang telah menimbulkan masalah itu dilepaskan. Perubahan terus-menerus dan terputus-putus itu merupakan revolusi ilmiah. Paradigma yang baru, yang penuh dengan janji tidak terkurung dari kesulitan-kesulitan yang tidak dapat diatasi, sekarang lantas membimbing aktivitas ilmiah yang baru dan biasa sampai pada akhirnya ia pun jatuh pada kesukaran yang serius dan timbullah krisis baru yang diikuti oleh suatu revolusi baru.
Berikut ini adalah penjelasan secara terperinci tentang komponen skema Kuhn diatas:
1. Paradigma dan Ilmu Biasa
Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma menetapkan standard-standar pekerjaan yang sah di dalam lingkungan yang dikuasai ilmu itu. Menurut kuhn, eksistensi suatu paradigma yang mampu mendukung tradisi ilmu biasa merupakan cirri yang membedakan ilmu dengan non ilmu.
Contoh, salama abad 19 paradigma Newtonian dikuasai oleh suatu asumsi seperti “ seluruh dunia fisika hendaknya diterangkan sebagai suatu system mekanika yang beroperasi dibawah pengaruh berbagai macam gaya menurut perintah hokum-hukum gerak Newton”.
Akhirnya semua paradigma akan mengandung beberapa keterangan metodelogis yang sangat umum.
Ilmu biasa melibatkan usaha-usaha terperinci untuk menjabarkan suatu paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam. Suatu paradigma akan selalu secukupnya, tidak terlalu ketat dan mempunyai akhir yang selalu terbuka sehingga menimbulkan banyak macam pekerjaan untuk ditangani. Kuhn memandang ilmu biasa sebagai aktivitas pemecahan teka-teki yang dibimbing aturan-aturan suatu paradigma. Teka-teki itu bisa teoritis maupun eksperimental.
Kegagalan memecahkan teka-teki dianggap sebagai kegagalan ilmuwan itu sendiri bukan kegalemahan paradigma. Teka-teki yang gagal dipecahkan dianggap sebagai anomaly(kelainan) ketimbang sebagai falsifikasi suatu paradigma. Kuhn mengakui bahwa semua paradigma mengandung kelainan (anomaly).
Seorang ilmu biasa harus tidak kritis terhadap paradigma tempat ia bekerja agar ia dapat memusatkan upayanya pada pencabaran yang terperinci dan pada penyelesaian pekerjaan keahlian yang diperlukan untuk menyelidiki alam dalam kedalamannya.
2. Krisis dan Revolusi
Ilmuwan biasa berkerja dengan yakin disuatu bidang yang jelas batasan-batasan nya menurut suatu petunjuk paradigma. Apabila ia menyalahkan paradigma karena gagal memecahkan masalah, ia akan terbuka untuk tuduhan yang sama seperti seorang tukang yang menyalahkan perkakasnya. Sekalipun demikian, kegagalan-kegagalan aka dijumpai dan pada akhirnya mencapai tingkat gawat yang merupakan krisis serius bagi paradigma itu. Dan ini dapat menyebabkan ditolaknya paradigma tersebut dan digantikannya dengan alternative yang berlawanan.
Adanya problema yang tidak terpecahkan saja tidak akan menyebabkan krisis. Kuhn mengakui bahwa paradigma pasti akan menjumpai kesulitan. Kesulitan tersebut, menjadi serius apabila ia menyerang hal-hal yang fundamental dari suatu paradigma dan jika kelainan itu secara gigih menentang usaha para anggota masyarakat ilmiah biasa untuk menyampingkannya. Kelainan juga menjadi serius apabila ada kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Sekali suatu paradigma telah diperlemah oleh batas sehingga para pendukungnya kehilangan kepercayaan kepadanya, berarti waktunya sudah masak ke revolusi. Kegawatan suatu krisis menjadi mendalam disaat suatu paradigma lawan telah menampilkan dirinya.
Tidak ada alasan yang logis menurut Kuhn yang murni mendemonstrasikan superioritas suatu paradigma atas paradigma lainnya, oleh sebab itu seorang ilmuwan secara rasional dapat berpindah dari paradigma yang satu ke paradigma lawan. Paradigma-paradigma yang bersaing tidak dapat saling diukur dengan standard yang sama.
Suatu revolusi ilmiah adalah sama dengan membuang paradigma lama dan menerima paradigma yang baru. Revolusi akan berhasil bila pengalihan ini akan harus menyebar begitu rupa sehingga meliputi mayoritas masyarakat ilmiah bersangkutan dengan meninggalkan hanya sedikit orang-orang yang memisahkan diri.
3. Fungsi Ilmu Biasa dan Revolusi
Beberapa aspek dari tulisan Kuhn mungkin memberikan kesan bahwa pandangannya tentang watak ilmu adalah murni deskriptif, yaitu bahwa ilmu itu bertujuan untuk tidak lebih dari menguraikan teori-teori ilmiah atau paradigma-paradigma dan aktivitas para ilmuwan. Kuhn beranggapan bahwa pandangannya mengandung suatu teori tentang ilmu karena berisi tentang fungsi berbagai macam komponennya.
Menurut Kuhn, ilmu biasa danrevolusi melayani fungsi-fungsi tertentu yang perlu, sehingga ilmu itu harus melibatkan sifat-sifat beberapa cirri lain yang bisa melayani pelaksanaan fungsi-fungsi tadi.
Suatu paradigma mengandung kerangka khusus dari mana dunia dipandang dijabarkan dan ia pun mengandung seperangkat teknik eksperimen dan teoritis yang memungkinkan paradigma mengimbangi alam.
Bila suatu krisis berkembang , langkah revolusioner untuk menggantikan keseluruhan paradigma dengan yang lainnya menjadi esensial untuk kemajuan efektif suatu ilmu. Kemajuan melalui revolusi adalah alternatif Kuhn untuk kemajuan yang kumulatif sebagaimana menjadi ciri pandangan induktivis tentang ilmu namun menurut Kuhn, itu adalah keliru karena ia mengabaikan peranan yang dimainkan oleh paradigma dalam membimbing observasi eksperimen.
3. Penutup
Ilmu selalu berkembang dalam skema yang open-minded. Dengan skema:
Pra ilmu - ilmu biasa - krisis - revolusi - ilmu biasa baru - krisis baru
IV. Sumber-Sumber
Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Chalmers, A.F. 1983. Apa Itu yang dinamakan Ilmu? Hasta Mitra: Jakarta
Mintaredja, Abbas H. 2003. Teori-Teori Epistemologi Common Sense. Penerbit Paradigma: Yogyakarta.
Munir, Misnal. 1997. Pemikiran Filsafat Barat. Fakultas filsafat Universitas Gadjah Mada bersama DIKTI.
Suriasumantri, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Tim Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Komentar
Posting Komentar